MAKALAH
USHUL FIQH
PEMBAGIAN MASLAHAH DAN SYARAT-SYARATNYA
DOSEN
: TOHA MA’ARIF, S.H.I
DISUSUN OLEH :
UMAR FIKRI
NIM 110201010
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
YAYASAN PEMBANGUNAN KALIANDA (STAI
YASBA)
TAHUN 2012/2013
PENDAHULUAN
Pembahasan maslahah
dalam makalah ini sangat berkaitan erat dengan teori Maqashid al-Syari’ah. Bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan
fiqih kontemporer, pengetahuan tentang Maqashid
al-Syari’ah mutlak diperlukan dalam rangka memahami hakikat dan peranannya
dalam penetapan hukum. Oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu
definisi Maslahah serta pembagiannya
menurut pendapat para ulama.
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqih”. Pemakalah sangat
berterima kasih jika ada yang dapat memberikan pendapat, baik saran ataupun
kritikan sehingga ke depannya dalam
penulisan dapat lebih baik dan lebih lengkap
MASLAHAH
A.
DEFINISI
MASLAHAH
Secara
bahasa, berasal dari kata ishlah yang
berarti baik. Kata ishlah biasanya
secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi di
kalangan manusia. Akan tetapi jika ishlah tersebut dilakukan oleh Allah pada
manusia, maka mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan melalui
beberapa prosespenciptaan yang sempurna, kadang-kadang dengan menghilangkan
suatu kejelekan/ kerusakan setelah keberadaannya, kadang-kadang pula dengan
menetapkan kebaikan kepada manusia itu sendiri melalui penegakan hukum (aturan)
terhadapnya.[1]
Ibrahim
Madkur dalam mu’jamnya berpendapat bahwa ishlah
yang berasal dari kata shalih
mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta terhindar dari
kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan frase Ashlaha Baynahuma, maka berarti
menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak.
Dengan demikian Ashlaha berarti
menghilangkan dan menghentikan segala bentuk permusuhan dan pertikaian.[2]
Secara
istilah, term Ishlah dapat diartikan
sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia.[3]
Karena itu, dalam terminologi islam secara umum, Ishlah dapat deartikan sebagai suatu aktivitas yang ingin membawa
perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain,
perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. ‘Abd
Salam menyatakan bahwa makna shalaha
yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya.[4]
Dalam
perspektif tafsir al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya
berpendapat, bahwa kata Ishlah
mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada sesuatu yang lurus dan mengembalikan
fungsinya untuk dimanfaatkan.[5]
Kata
Ishlah juga memiliki beberapa
sinonim, diantaranya tajd_d
(pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah pada kemajuan dan
perbaikan keadaan.[6]
Sementara
menurut ulama fiqih, kata Ishlah diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu
perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di antara manusia
yang bertikai, baik individu maupun kelompok.[7]
Sejalan
dengan definisi di atas, hasan sadily menyatakan
bahwa Ishlah merupakan bentuk
persoalan diantara para pihak yang bersangkutan untuk melakukan penyelesaian
pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga,
pengadilan, peperangan, dan lain-lain.[8]
Sayid Sabiq
menerangkan bahwa Ishlah merupakan
suatu jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang
bermusuhan. Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang
mengadakan Ishlah tersebut dengan Mushalih, adapun hal yang diperselisihkan
disebut dengan Mushalih ‘anh, dan hal
yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak lain untuk memutus
perselisihan disebut dengan Mushalih
alaih atau Badal al-shulh.[9]
Dari
keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa, meskipun kata Ishlah atau Shulh merupakan sinonim, namun kata Ishlah lebih menekankan arti
suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata Shulh lebih menekankan arti hasil dari proses Ishlah tersebut yaitu berupa Shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat
denyatakan juga bahwa Ishlah
mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga sebagai perantara atau mediator dalam
penyelesaian konflik tersebut. Sementara dalam Shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.
Dalam
khazanah pemikiran hukum islam, para ulama ushul fiqih juga membahas kata Ishlah dan menjadikannya sebagai salah
satu metode menemukan hukum dalam bentuk istishlah/mashlahah.
Al-Ghazali menerangkan bahwa menurut
asalnya mashlahah itu berarti sesuatu
yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madharat.[10]
B.
PEMBAGIAN
MASLAHAH
Tujuan
utama syari’ (legislator) adalah mashlahah
Manusia, demikian diungkapkan oleh al-Syathibi.[11]
Lebih jauh ia mendefinisikan maslahah
sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan, yaitu maslahah yang membicarakan subtansi
kehidupan manusia dan pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas
emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia
membagi mashlahah dalm tiga kategori,
yaitu:[12]
1)
Kebutuhan Dharuriyah
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut
juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka
keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut Al-Syathibi, ada lima hal
yang termasuk dalam kategori ini yang paling utama dan
mendasar yang kepentingannya harus selalu dijaga atau dilindungi yaitu :
a)
Melindungi
Agama (al-Din)
untuk persoalan ad-Din berhubungan dengan ibadah-ibadah yang dilakukan seorang
muslim dan muslimah, membela Islam dari ajaran-ajaran yang sesat, membela Islam
dari serangan-serangan orang-orang yang beriman kepada agama lain.
b)
Melindungi
nyawa (al-Nafs)
Di dalam agama Islam nyawa manusia
adalah sesuatu yang sangat berharga yang harus dijaga dan dilindungi. Seorang
muslim dilarang membunuh orang lain atau dirinya sendiri. Terjemahan dari surat
al-Isra’ 17:33, yang artinya :
”dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan satu (alasan) yang benar….”
c)
Melindungi
Akal (al-‘Aql)
Yang membedakan manusia dengan hewan
adalah akal, oleh karena itu kita wajib menjaga dan melindunginya. Islam
menyarankan kita untuk menuntut ilmu sampai keujung dunia manapun dan melarang
kita untuk merusak akal sehat kita, seperti meminum alkohol.
d)
Melindungi
keluarga/garis keturunan (al-‘Ird)
Menjaga keturunan dengan menikah
secara agama dan Negara. Punya anak diluar nikah, misalnya akan berdampak pada
warisan dan kekacauan dalam keluarga dengan tidak jelasnya status anak
tersebut.
e)
Melindungi
Harta (al-Maal)
Harta adalah hal yang sangat penting
dan berharga, namun Islam melarang kita untuk mendapatkan harta kita dengan
cara ilegal, dengan mengambil harta orang lain dengan cara mencuri atau
korupsi.
Kelima hal yang terpenting diatas didapat dari syariah
eksensi dari pada existensi manusia. Oleh karena itu semua golongan sosial
sudah selayaknya melindunginya, karena jika tidak, kehidupan manusia di dunia
akan menjadi rusak, kacau, miskin dan menderita baik dunia maupun akhiratnya.memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta.
Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap
ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak
lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishas.
تتقون لعلكم يأولى الألباب فى القصاص حياة ولكم
Artinya
: “Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang
yang bertakwa”
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qishas karena
dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
2)
Kebutuhan al-Hajjiyah
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun
ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan
tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan)
seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf.
Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh
pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda)
bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong
tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya
dari kelaparan.
3)
Kebutuhan Tahsiniyah
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah
satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila
tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti
dikemukakan Al-Syathibi seperti hal
yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak
dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma
dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah, muamalah, dan
uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan
dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke
masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam
peperangan/ muslah.
Al
Syathibi juga membagi maslahah dalam tiga hal, yaitu :[13]
a)
Maslahah muktabar, yaitu
kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana
diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah
pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah
sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan
serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya
hukuman qishas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.
b)
Maslahah mulgha, yaitu
sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang
lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.
Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman
ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan
puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al-Laitsi menfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan
berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa
memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin terlalu ringan bagi
seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan
yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.
c)
Maslahah mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang
memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan
hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas berbuat
maksiat. maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh
diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang
sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihatdari segi tujuan syara’
dalam menetapkan hukum (Maqashid Syari’ah)
yang berkaitan dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga
dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di
atas.[14]
C.
MAQASHID
SYARI’AH
secara
bahasa Maqashid al-syari’ah berarti
maksud atau tujuan yang disyari’atkan hukum dalam islam. Maka bahasan utama
dalam teori ini adalah masalah hikmah dan illah ditetapkannya hukum.[15]
Kajian tentang ditetapkannya hukum
dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fiqih. Dalam
perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalm filsafat hukum
islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid al-syari’ah identik dengan istilah filsafat hukum islam
yang melibatkan pertanyaan kritis tentang ditetapkannya suatu hukum.[16]
Tujuan hukum harus diketahui oleh
para mujtahid dalam rangka mengembangkan hukum Islam guna menjawab
persoalan-persoalanhukkum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit oleh Al-Qur’an da Hadits. Juga, tujuan hukum perlu diketahui dalam
menetapkan, apakah terhadap suatu kasusmasih dapat diterapkan satu ketentuan
hukum yang sama atau tidak karena adanya perubahan struktur sosial.
Dengan
demikian, pengetahuan tentang Maqashid
al-syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan ijtihad. Perlu digarisbawahi
bahwa yang dimaksud dengan persoalan hukum disini adalah tentu persoalan hukum
yang menyangkut bidang mu’amalah yang dapat diketahui makna dan rahasianya oleh
akal manusia.[17]
Dalam penelusuran terhadap masalah-masalah mu’amalah ini, mujtahid perlu
mempertanyakan mengapa Allah Swt dan Rasul-Nya menetapkan hukum tertentu dalam
bidang mu’amalah. Untuk selanjutnya mempertanyakan, apakah suatu aturan hukum
tertentu masih dapat diterapkan terhadap kasus hukum tertentu dalam Maqashid al-syari’ah.
Lebih
jelasnya, dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti
lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan
ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum
yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam menerapkan nash dalam satu
kasus yang baru, kandungan nash harus
diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan yang disyari’atkan hukum
tersebut.
Setelah
itu perlu dilakukan studi untuk menentukan kelayakan, apakah ayat atau hadits
tertentu layak untuk diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh jadi ada kasus
hukum baru yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, padahal setelah diadakan
penelitianyang seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus
tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber
hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan
umum disyari’atkan hukum dalam islam sebagaimana telah dilakukan oleh para ahli
ushul fiqih terdahulu.
Seseorang
tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat
memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan,
demikian ditegaskan oleh juwaini.
Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqashid
al-Syari’ah itu dalam kaitannya dengan pembahasan ‘illah dalam qiyas.
Menurut pendapatnya, maka kaitannya dalam ‘illah,
ashl dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu ashl yang masuk kategori dharuriyyah,hajjiyyah ammah, dan makramah. Dalam istilah lain kategori
ketiga biasa disebut tahsiniyyah.[18]
Pemikiran
al-Juwaini di atas agaknya
dikembangkan dan diberi bentuk oleh Ghazali.
Ia menjelaskan maksud Syari’at dalam kaitannya dengan pembahasan al-Munasabah al-mashlahiyyah.[19]
Dan lebih jauh lagi dalam pembahasan Istishlah.[20]
Baginya, mashlahah adalah memelihara
maksud syari’. kemudian ia memerinci mashlahah itu kepada lima hal, yaitu
memelihara Agama, Jiwa, Akal, Ketutunan, dan Harta. Kelima aspek mashlahah ini
berada pada peringkat yang berbeda ditinjau dari segi tujuannya, yaitu
peringkat Dharurah, Hajjah, dan Tahsinah.
Selanjutnya,
secara khusus aspek utama Maqashid
al-syari’ah dikembangkan oleh ’Izzu
al-Din ibn ‘Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia mengejawantahkan mashlahah dalam bentuk dar’u al-mafasid wa jalbu al-manafi’. Baginya
mashlahah duniawiyyah tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat yaitu dharuriyyah, hajjiyah, dan tatimmah atau takmilah. lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada
kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[21]
Adapun
ahli ushul fiqih yang membahas teori Maqashid
al-syari’ah secara lebih khusus, sistematis dan dan jelas adalah al-Syathibi dari kalangan mazhab maliki.
Ia secara tegas menyatakan, bahwa tujuan utama Allah Swt mensyari’atkan
hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Karena
itu, pembebanan dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Sebagaimana
ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahah
menjadi tiga peringkat, yaitu dharuriyah,
hajjiyah, dan tahsiniyah. Yang
dimaksud dengan maslahah baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Berdasarkan
pernyataan para ahli ushul fiqih di atas dapat dipahami, bahwa tujuan Allah Swt
mensyari’atkan hukum adalah untuk memelihara maslahah manusia dan menghindari mafsadah, baik di dunia maupun akhirat. Tujuan tersebut hendak
dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman
sumber hukum yang utama, yaitu al-Qur’an dan Hadits. untuk tujuan itu,
berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus
dipelihara yaitu agama, jiwa akal, keturunan, dan harta.
Seorang
mukallaf akan memperoleh kemaslahatan jika ia dapat memelihara kelima aspek
pokok itu, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadah, jika ia tidak dapat memeliharanya dengan baik. Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok di
atas didasarkan atas dalail-dalil al-Qur’an dan Hadits. Dalil-dalil tersebut
berfungsi sebagai al-qawa’id al-kulliyat
dalam menetapkan al-kulliyat al-khams.
Ayat-ayat
yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat makiyyah yang tidak dinaskh
dan ayat-ayat madaniyyah yang
mengukuhkan ayat-ayat makiyyah.
Diantara ayat-ayat itu adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan kewajiban
shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan,
larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Ia
berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan al-kulliyyat al-khams termasuk dalil
yang qath’i maka ia juga dapat
dikelompokkan sebagai qath’i. Dalam
artian, karena landasan hukum untuk menetapkan al-kulliyyat al-khams dapat dipertanggungjawabkan, maka ia dapat
pula dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.[22]
Guna
menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan menjadi tiga peringkat, dharuriyyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Pengelompokan ini
didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan peringkat ini
akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing
peringkat itu satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat dharuriyyah menempati urutan pertama,
disusul oleh peringkat hajjiyah,
kemudian disusul oleh tahsiniyyah.
Namun dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat
kedua, dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.
Guna
memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqashid
al-syari’ah, berikut ini akan dijelaskan secara utuh kelima pokok
kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari
kelima pokok kemaslahatan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kemudian kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau
kebutuhannya.
1.
Memelihara
Agama (Hifzh al-Din)
Memelihara agama dalam peringkat dharuriyyah, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti
melaksanakan shalat lima waktu.kalau shalat ini diabaikan, maka akan
terancamlah eksistensi agama.
Memelihara agama dalam peringkat hajjiyah, yaitu melaksanakan ketentuan
agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan qashar bgi
orang yang sedang bepergian jauh. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka
tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang
yang melakukannya.
Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyah, yaitu mengikuti petunjuk
agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan
kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun di
luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat
kaitannya dengan akhlak terpuji. Kalau hal itu tidak dilakukan, karena tidak
memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula akan
mempersulit orang yang melakukannya.
2.
Memelihara
Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyyah, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.
Memelihara jiwa dalam peringkat hajjiyah, seperti dibolehkan berburu dan
menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit
hidupnya.
Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyah, seperti ditetapkanmnya tata
cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan etiket, sama sekali
tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.
3.
Memelihara
Akal (Hifzh al-‘Aql)
Memelihara akal dalam peringkat dharuriyyah, seperti dilarang minum khamr.
Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
akal.
Memelihara akal secara hajjiyah, seperti dianjurkan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan ini tidak dilakukan, maka tidak
akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam kaitannya
dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyah, seperti menghindarkan diri
dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat
kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
4.
Memelihara
Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan dalam
peringkat dharuriyyah, seperti
disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka
akan mengancam eksistensi keturunan.
Memelihara keturunan dalam
peringkat hajjiyah, seperti
ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan
diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad,
maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mitsil. Sedangkan
dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak
talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis lagi.
Memelihara keturunan dalam
peringkat tahsiniyyah, seperti
disyari’atkan khithbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini
dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan,
maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak akan pula mempersulit
orang yang melakukan perkawinan.
5.
Memelihara
Harta (Hifzh al-Maal)
Memelihara harta dalam peringkat dharuriyah, seperti disyari’atkannya tatacara
pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak
sah. Apabila aturan ini dilanggar, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
harta.
Memelihara harta dalam peringkat hajjiyah, seperti disyari’atkan jual
beli dengan cara salam (pesan). Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan
mengancam eksistensi harta, melainkam akan mempersulit orang yang memerlukan
modal.
Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyah, seperti ketentuan agar
menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika
bermu’amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kesalahan
jual beli itu, sebab merupakan syarat adanya peringkat adanya peringkat kedua
dan pertama.
D.
ISHLAH
DALAM MASLAHAH
Jelas
bahwa tujuan disyari’atkan hukum adalah untuk memelihara maslahah, dan sekaligus menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat. Segala macam kasus
hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun
yang dihasilkan dari ijtihad, harus bertitik tolak dari tujuan tersebut. Dalam
kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam kedua sumber utama fiqih
itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata
kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan tersebut harus dijadikan titik
tolak penetapan hukumnya.
Dengan
demikian menjadi jelas pula bahwa ishlah
yang berperan sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab
bagi individu dan masyarakat baik di dunia yang meliputi pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan
tujuan memelihara kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana tujuan
disyari’atkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlah sebagai suatu produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam
berbagai bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat
al-Qur’an. Oleh karena itu, dipastikan dapat memelihara kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian,
keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula untuk diterapkan sebagai
salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian. Di sinilah posisi strategis
ishlah dalam konteks maslahah dan
dalam mewujudkan maslahah itu
sendiri.
Diterapkannya
ishlah dan tereliminasinya konflik dipastikan akan dapat memelihara kemuliaan
agama. Bahwa islam sebagai agama perdamaian dan keselamatan mengejawantahkan
ajarannya dengan menciptakan kedamaian antar anggota masyarakat dimana islam
dipeluk dan ditegakkan. Begitu pula ishlah dapat mencegah terjadinya
pertumpahan darah yang dapat merusak dan menghilangkan jiwa yang sangat
berharga. Ishlah juga dapat memelihara harta individu dan masyarakat agar
termanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan kebijakan individu dan
masyarakat, daripada terhamburkan dalam persengketaan masyarakat yang
berlarut-larut yang menghabiskan banyak biaya dan tenaga.
Begitu
pula dengan ishlah akal manusia yang bersih dapat terpelihara, karena pada
dasarnya fithrah akal manusia adalah cinta pada Tuhan, sedangkan Tuhan adalah
zat yang maha baik dan selalu mengajarkan kebaikan dan kedamaian, menjauhi
keburukan dan permusuhan. Begitu pula dengan ishlah akan terwujud generasi
yang cerdas dan sadar hukum karena terbimbing dalam suasana keluarga dan sosial
yang damai, sejahtera dan sadar hukum, sehingga dapat tercipta pribadi-pribadi
yang damai, sejahtera dan sadar hukum pula.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ulama dari berbagai disiplin ilmu
telah mengungkapkan definisi ishlah
menurut spesialisasi ilmu yang mereka kuasai. Berbagai makna ishlah masing-masing di atas, pada
dasarnya bahwa makna ishlah berkisar pada anjuran kepada manusia untuk berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jelek.
Dengan
fungsi dan tujuan ishlah adalah untuk memelihara perdamaian demi terciptanya
kemanfaatan dan menghindarkan kesulitan sebagai tujuan syari’at secara umum
karena mengarah pada terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap
yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut, yang dalam hal ini
termasuk ishlah, dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan
petunjuk-petunjuk nash.
Daftar
Pustaka
Al-Ashfahani,
al-Raghib. Al-Mufradat fi Raghib al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma’rifah
Al-Aynayni,
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad. Al-Bidayah fi Syarh al-Hidayah. Beirut: Dar
al-Fikr. t,th.
Al-Ghazali.
1971. Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil.
Baghdad: Mathba’at al-Irsyad.
Al-Ghazali.
1971. Al-Mustasyfa. Baghdad: Mathba’at al-Irsyad.
Al-juwaini,
Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma’ali. 1400 H. Al-Burhan fi
Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Anshar.
Al-Salam,
Ibn ‘Abdi. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Kairo: al-Istiqamat, tth.,
Jil. I
Al-Syathibi.
Al-Mufawaqat fi Ushul al-Ahkam.tt. : Dar al-Fikr, Jil. II.
Al-Thabarsi,
Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan. 1986. Majma’ al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Efendi Satria. 1991. Maqashid al-Syari’at dan
Perubahan Sosial, dalam dialog. Jakarta: Badan Litbang Depag. No. 33 tahun XV,
Januari.
E.
van Donzel, B. Lewis, dkk (ed). 1990. Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J.
Brill.
Ibn
Manzhir, Ibn. Lisan al-’Arab. Mesir: al-Dar al Mishriyyah lita’lif wa
al-Tarjamah. t.th.
Madkur,
Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wajiz
O.
Voll, John. 1983. Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlah
dalam john L. Esposito, Voices of resurgent. New York: Oxford University Press.
Sabiq,
Sayid. 1988. Fiqh al-Sunnah, terj. Kamaluddin A. Marzuki dengan judul Fiqih
Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Sadyli,
Hasan dkk. 1982. Eksiklopedi Indonesia.
Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve.
Salam,
Abd. Mu’jam al-Wasith. Teheran: Maktabat al-Ilmiyah. t.th
[1] Al-Raghib
al-Ashfahani, f_Ghar_b al-Qur’an,
(Beirut: Dar al- Ma’rifah, t.th) h. 284-285
[2] Ibrahim Madkur, al-Mu’jam
al-Wajiz (tp., t.th) h. 368. Lihat juga Ahmad Athiyyatullah, al-Qams al-Islami, (Mesir: Makhtabah
al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), jilid 4, h. 3221
[3] E. Van Donzel,
B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam,
(Leiden: E.J. Brill. 1990), Jil. IV, h. 141 Al-Raghib al-Ashfahani, f_Ghar_b al-Qur’an, (Beirut: Dar al-
Ma’rifah, t.th) h. 284-285
[4] Abd Salam, Mu’jam al-Wasith, (Teheran: Maktabah
al-Ilmiyah, t.th)Jil. I, h. 522
[5] Abu ‘Ali al-Fadl
ibn al-Hasan at-Thabarsi, majma’ al-Bayan
f_tafs_r al-qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986),cet. I, Jil. I, II. h.
137. Lihat juga Abu al-Qayim jarullahi Mahm_d
ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir
al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70
[6] John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History:
Tajdid and Ishlah dalam john L. Esposito,
Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42
[7] Abu Muhammad
Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidayah
fi Syarh al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jil. 9, h. 3
[8] Hassan Sadyli
dkk, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta:
Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1982), h. 1496
[9] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj., kamaludin A.
Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988), Jil. Ke-13, h. 189
[10] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil, 2, h. 324
[11] Al-Syatibi, al- Muwafaqat f_Ush_l al-Ahkam, Juz II,
tt., t.th. h. 35-36
[12] Al-Syathibi, h.
5
[13] Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (tt.:
Dar al-Fikr, tth), Jil. II
[14] Amir Syarifudin,
Ushul Fiqh 2, h. 327
[15] Ahmad
al-Raysuni, Nazhariyyal al-maqdshid ‘Inda
al-Syathibi, (Rabath: Dar al-Aman, 1991),h.97
[16] Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu
Ishaqal-Syathibi’s Life and Thought, (Delhi: International Islamic Publishers,
1989),h. 325-326
[17] Satria Efendi, “Maqashid al-Syari’at dan Perubahan Sosial”,
dalam dialog (Jakarta: Badan Litbang Depag, No, 33 tahun XV, Januari, 1991), h. 29
[18] Abd. Al-Malik
Ibn Yusuf Abu al-Ma’ali al-Juwaini, al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Anshar, 1400 H), Jil. II, h. 923
[19] Al-Ghazali, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa
al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, (Baghdad: Mathba’at al-Irsyad, 1971), h.
159
[20] Al-Ghazali, al-Musytasyfa, (Baghdad: Mathba’at
al-Irsyad, 1971), Juz I, h. 250
[21] Ibn ‘Abdi
al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, (Kairo: al-Istiqamat, tth)Jil. I, h. 9
[22] Al-Syathibi,
Jil, II, h. 34-70
edc titanium | The Tiagrata Classic | The Tiagrata Classic
ReplyDeleteWhat is the key to edc titanium? EdC titanium titanium mens wedding bands consists of a core consisting of 2020 ford ecosport titanium the four core how to get titanium white octane components that can be integrated in an titanium vs ceramic innovative solution. apple watch stainless steel vs titanium