PENDAHULUAN
Dalam
masyarakat, setiap orang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun
terkadang masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian yang semakin
meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank
dan lembaga keuangan non bank.
Sistem
ekonomi perbankan syariah kini sedang mengalami kemajuan yang sangat pesat,
contohnya di indonesia. Kebanyakan bank di indonesia sudah memakai nama bank
syariah, tapi sebagian masyarakat belum mengetahui pengertian dan tujuan
perbankan syariah.
PEMBAHASAN
A.Definisi al-Qardh.
Qardh secara bahasa,
bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang disodorkan
kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu digunakan sebagai bahasa kiasan
dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam antar sesama. Salah seorang
penyair berkata :
“Sesungguhnya orang kaya bersaudara dengan orang
kaya, kemudian mereka saling meminjamkan, sedangkan orang miskin tidak memiliki
saudara”
Secara syar’i para ahli fiqh mendefinisikan Qardh ;
- Menurut pengikut Madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati.
- Menurut Madzhab Maliki, mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
- Menurut Madzhab Hanbali, Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
- Menurut Madzhab Syafi’i, Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.
B. Aspek Syariah Al-Qardh
1. Al-Qur’an
“Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Al-Baqarah : 245)
“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.”(Al-Maidah : 2)
2. As-Sunnah
Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Pada malam peristiwa Isra’ aku
melihat di pintu surga tertulis ‘shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat,
sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa
Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta
tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak
berutang kecuali karena kebutuhan”.(HR. Ibnu Majah dan
Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa
dari Abu Umamah ra).
Secara ijma’ juga dinyatakan
bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub (dianjurkan)
bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang
yang berutang).
C. Hal yang diperbolehkan pada Qardh
Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh
dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan
nilainya tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang,
biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Tidak
diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang tidak memiliki kesepadanan, baik
yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta biji-bijian yang
memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin mengembalikan dengan
semisalnya.
Madzhab Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bisa
diperjualbelikan objek alam, baik ditakar, atau ditimbang, seperti emas, perak
dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan,
binatang dan sebagainya, seperti harta-harta, biji-bijian.
D. Hukum Qardh
Hak kepemilikan dalam Qardh
menurut Abu Hanifah dan Muhammad – berlaku melalui Qabdh(penyerahan).
Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh,
maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian
gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh.
Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang
semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu
berlangsung. Abu yusuf berkata : muqtaridh tidak memiliki
harta yang menjadi objek Qardh selama Qardh itu berlangsung.
E. Pinjaman yang baik
Dilihat dari definisi diatas,
maka pinjaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pinjaman seorang hamba
untuk Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya.
a. Pinjaman seorang hamba untuk
Tuhan-Nya
Yaitu apa yang diberikan oleh
seorang muslim untuk membantu saudaranya tanpa mengharap kembalinya barang
tersebut karena semata-mata untuk mengharapkan balasan di akhirat nanti. Hal
ini mencakup infaq untuk berjihad, infaq untuk anak-anak yatim, infaq untuk
orang-orang jompo, dan infaq untuk orang-orang miskin. Jenis ini telah
disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan kata ‘al-qardh’, sebagaimana
tersebut dalam firman Allah SWT :
“Dan berperanglah kamu sekalian
di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”(Q.S Al-Baqarah : 244)
“Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S Al-Baqarah : 245)
jelaslah bahwa pinjaman yang dimaksud disini berbeda dengan apa yang sering
kita lihat didalam kehidupan bermasyarakat, yang mana seseorang meminjam dari
temannya karena didorong oleh adanya suatu kebutuhan. Karena pinjaman yang
dimaksud dalam ayat ini sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
b. Pinjaman seorang hamba untuk
saudaranya
Para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan masalah ini. Madzhab
Abu Hanifah berkata, “Pinjaman yang diperbolehkan adalah sesuatu yang
mempunyai persamaan yang mungkin dapat digantikan dengan sesuatu yang serupa,
akan tetapi menyangkut barang-barang bernilai seperti hewan, property, kayu
bakar dan segala sesuatu yang tidak mungkin ditemukan barang yang serupa
dan persis dengannya waktu pengembalian barang pinjaman tersebut, maka tidak
boleh dipinjamkan. Karena menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan
sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak diperbolehkan.
Madzhab Imam Malik menambahkan definisi ini dengan beberapa point berikut :
- Hendaklah barang yang dipinjamkan mempunyai nilai jual, dengan begitu tidak dibenarkan meminjamkan sepotong api.
- Orang yang meminjam harus mengembalikan barang pinjamannya.
- Pengembalian pinjaman hendaklah diberikan sesudah menerima pinjamannya.
- Hendaklah orang yang memberikan pinjaman tersebut berniat untuk memberikan manfaat kepada orang yang meminjam saja, dan tidak berniat untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk mendapatkan keuntungan bersama.
- Tidak boleh meminjamkan alat fital seorang sahaya perempuan kepada seseorang untuk dimanfaatkan.
- Hendaklah orang yang meminjam sesuatu harus menjamin bahwa ia akan mengembalikan pinjamannya, sehingga dalam hal ini masjid dan madrasah tidak bisa dipinjamkan.
Setelah kita memberikan
pinjaman kepada seseorang (saudaranya), hendaklah pinjaman tersebut mengandung
unsur kebaikan, begitu juga apabila pinjaman tersebut telah jatuh tempo.
Ber-ihsan dalam
menagih hutang (Qardh), adakalanya dilakukan dengan menganggapnya lunas,
semua maupun sebagiannya, atau dengan mengundurkan waktu pembayaran tersebut
yang telah jatuh tempo, ataupun dengan mengurangi pelbagai persyaratan
pembayaran yang telah memberatkan. Semua itu sangat dianjurkan, Sebagaimana
dalam Sabda Nabi SAW :
“Rahmat Allah tercurah atas
siapa-siapa yang’mudah’ dalam membeli, ‘mudah’ dalam menjual, ‘mudah dalam
membayar dan ‘mudah’ dalam menagih”.
Rasulullah SAW, juga pernah
menyebutkan tentang seorang laki-laki yang masa lalunya penuh dengan perbuatan
dosa, yang ketika dihisab, ternyata tidak memiliki cacatan amal kebaikan yang
pernah ia lakukan. Maka ditanyakan kepadanya,“Apakah
anda tidak pernah melakukan kebaikan apapun ? “Tidak, “jawabnya. “Tetapi saya
dahulu adalah seorang pemberi hutang, dan senantiasa mengingatkan kepada para
pegawai saya : ‘Perlakukanlah yang mampu diantara para penghutang dengan
perlakuan yang baik, dan undurkanlah waktu pembayaran bagi yang dalam
kesusahan’. (Dalam versi lain : ‘….dan maafkanlah (yakni anggaplah hutangnya
lunas) bagi yang dalam kesusahan’). Lalu Allah SWT pun menghapus dosa-dosanya
dan mengampuninya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang
berarti memotong. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang
disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang. Kemudian
kata itu digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam
meminjam antar sesama. Jika seseorang
berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh, maka ia berhak
menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian
gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh.
Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang
semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu
berlangsung.
Seandainya semua masyarakat
mengetahui hal demikian, tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang
(pemilik harta) berbuat zhalim kepada orang yang membutuhkan bantuan. Apalagi
ditengah kondisi krisis sekarang ini. Dimana, kita sebagai orang yang memiliki
kelebihan harta hendaklah menolong saudara-saudara kita yang telah dilanda
kesusahan dengan memberikan bantuan berupa pinjaman yang ihsan, bahkan tidak
sekadar itu dapat memberikan Qardhul Hasan (menginfakkan,
menyedekahkan sebagian hartanya tanpa mengaharapkan imbalan seperserpun tetapi
hanya mengharap ridha Allah SWT). Tetapi kalau hanya memikirkan kehidupan
duniawi manusia tak luput akan kerakusan harta, yang diingat hanyalah berapa
besar kelebihan dari kembalian harta yang telah dipinjamkan.
B.
Daftar Pustaka
Afzalurrahman “Doktrin Ekonomi Islam” ; Pent. Soeroyo, Nastangin, Jakarta ;
Dana Bhakti waqaf, Vol 3, 1995.
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang
(Terjemahan), Jakarta : Yayasan Swarna Bhumy, 1995.